Pages

Sabtu, 19 Oktober 2013

Maryam, garis batas kerinduanku pada wanita [rePost]

Pernahkah kau duduk disampingku?
Menatap arus awan menyentui surya
Mengikis urat ku yang lelah dengan sentuh
Lalu ku ukir kelingking ditengah helai kerudungnya

Kulihat sepi menghampiri
Sembari duduk aku meringis, takut

Beribu lembar devosi basi
Dibentangkan dalam simpul utas pecut
Aku yang bersimpuh dalam batas-batas mataku
Telingaku, bibirku, dan mimpi kecilku
Berusaha mengaduk langit yang berusaha kau bisikkan pada bumi

Seribu wanita lalu menahtakan keelokan kulit
Menumpahkan beribu debu di wajah lugu
Menjahit gencu lengket tepat di sisi bibir
Menelan pil untuk menyekik pinggul
Lalu membeber selangkangannya yang amis

Aku tidak kagumi
Hanya sedang asik melihat mu bermain
Dengan kertas, dengan pekik
Dengan ayat, dengan definisi
Masih berusaha membisikkan surga pada bumi

Tapi kau terlalu serius
Tidak menyadari kah aku masih mabuk menatap mu
Mengelilingimu dalam tarimu
Membelaimu dari sisi bias cahaya melalui kornea ku
Biar seribu wanita masih membeber selangkangan amisnya
Aku masih mengagumi dirinya
Meski harus selalu bertanya

Pernahkah kau mau duduk disampingku?
Mendengarkan puji-pujianku kepada mu
Hingga rindu, hingar haru

Maryam ku, wanita-Mu

Senin, 27 Mei 2013

Tiyo Kecil, Pernikahan Madri dan Bola Mata Uci’ (re-Post)

Tiyo berbalik kebelakang dengan cepat. Terasa ada sengatan kecil merajam kulit belakangnya. Ada yang menjepit sedikit kulitnya lalu memelintirnya nyaris 90 derajat.  Lelaki 11 tahun ini berbalik sambil merapatkan kedua ujung alisnya dengan geram. Dalam kepalanya menggerutu.” Apa dia tidak tahu kalau berdiri selama kurang lebih 30 menit dalam damri reok yang sangat bergetar ini sudah cukup membuat menderita anak kecil, malah di tambah cubitan” geram dalam kepalanya.

Tapi setelah dia berbalik, keadaan juga berbalik. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras. Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Membuat lemas tempurung lututnya. Titik mata hitam yang sangat jernih ditengah mata dan kulit wajah yang seperti lautan putih berhasil membuatnya grogi. Meski dengan senyum jahat, wajah itu membuatnya senang hingga tak berkutik. Bukan takut hingga binasa.

Baru kali ini Uci’, melakukan itu. Biasanya Tiyo yang duluan menggoda. Dia berfikir mungkin Uci’ masih marah ketika beberapa minggu yang lalu dia rela memanjat ke flafon pos yang dibelakangnya ada tempat biasanya Uci’ jajan ketika istirahat. Hal itu dia lakukan untuk bisa menarik pita kecil yang mengikat rambut Uci’ dan akhirnya memaksa Uci’ masuk kepos untuk marah ketika meminta pita itu kembali. Itu sebuah keasikan melihat mata yang nyaris sipit itu dipaksa terbuka lebar oleh pemiliknya, membuatnya semakin manis.

***

Tiyo memperhatikan rambut sebahu itu bergoyang karena semua bagian tubuh wanita itu bergoyang kalau jalan. Dengan gaya jalan seperti pria, wajar kalau wanita ini memilih masuk kesekolah kejuruan untuk mayoritas laki-laki. Karena meski menggunakan rok dia masih saja seperti laki-laki. Dan sekarang laki-laki ber-rok. Tiyo lalu mempercepat langkahnya, Dullah disampingnya juga melakukan itu. Mereka berdua melewati Madri dan beberapa teman laki-laki yang berjalan bersamanya.“ Oi... Besok anak-anak mau ke malino untuk perpisahan” Madri berteriak seperti laki-laki kepada Tiyo dan Dullah yang berlalu begitu saja.
Tiyo dan Dullah duduk di bangku milik sebuah warung. Mereka tidak langsung menahan Angkot dan pergi. Seperti biasa mereka mampir dulu di warung untuk merokok dan memperhatikan cewek SMU lain melintas untuk pulang. Rusmin yang tadi dilalui kedua orang itu menghampiri Tiyo.

“Bagai mana. Besok ikut toh?” Rusmin mencoba akrab. Tiyo cuman senyum.
“Jangan begitu. Setau saya kau dan Madri waktu kelas 1 adalah teman akrab. Kenapa kau marah sampai nyaris dua tahun padanya?” Rusmin berbicara lagi.
Belum sempat Tiyo menjawab. Madri sudah nongol dari belakang dan meluncurkan perkataan dengan suaranya dengan keras.“Bagai mana Tiyo, besok ikut ya?”

Tiyo diam. Madri menatapnya seakan tidak pernah ada masalah diantara mereka. Lalu Tiyo tersenyum sebelum mengangguk, Iya! Senyum pertama dari Tiyo untuk Madri setelah nyaris dua tahun senyum itu hilang.

***

Kota ini jadi kota hujan. Seperti kota-kota di sekitaran Vietnam dan Thailand. Dingin menambah kebosanan ini. Tiyo berdiri sambil menatap jejeran motor yang dibasahi di dalam gelap ini. Sementara disampingnya Jangkung masih saja sibuk untuk menghubungi teman-teman yang lain. Mau memastikan apakah mereka jadi datang keacara ini. “Mana mungkin ada yang datang. Tidak mungkin hanya untuk wanita ber-“otot” ini, ada yang setolol ini mau menembus hujan lebat ini. Cuma kita berdua yang terkecuali untuk itu” gerutunya dalam hati. Dia menatap lagi parkiran dekat tempat mereka berdiri, berteduh, untuk menunggu teman-tamannya agar tidak berdua saja masuk kedalam ruangan pernikahan itu. Tiyo berfikir andai saja dia memutus ritualnya tuk pulang kerumah setiap pagi untuk hari ini saja mungkin dia tidak akan menemukan undangan pernikahan Madri yang diantar Jangkung ke rumahnya malam sebelumnya.

Untuk membunuh kejenuhannya, diraihnya Handphone bututnya. Seperti biasa, dia menganggap dengan meng-sms Dut selalu bisa mematikan kejenuhannya. Sembari menunggu setiap balasan sms dari Dut, dia melambungkan pikirannya pada apa yang akan dia temui beberapa waktu nanti, di dalam ruangan ”riuh” itu. Bagai mana kalau ketemu dengan teman-teman, yang menurut informasi dari Jangkung, sudah mempunyai bini dan pekerjaan mapan. Apa yang akan dia jelaskan dengan “pujian pedas” Adi terhadap dirinya yang belum bisa menyelesaikan kuliah sampai selama itu. Kekhawatiran kedua adalah bagai mana kalau ternyata didalam Madri sudah tidak mengenalnya lagi. Atau kalaupun dia masih dikenal, tapi tidak diperhatikan karena banyaknya tamu yang tentu saja lebih ber-“bobot” dari mahasiswa usang seperti dia. Dan ketakutan yang paling dia khawatirkan adalah bertemu Uci’. Dia tahu kalau Uci’ adalah teman sekampus Madri, informasi ini dia dapat beberapa tahun yang lalu. Kepucatan itu yang dia takutkan. Tiyo selalu tidak siap melihat titik mata hitam ditengah samudra putih itu.

Setelah teman-teman yang ditunggu sudah datang dan kekhawatiran pertama terwujud dengan sempurna, mereka berjalan merengsek masuk kedalam ruangan besar berwarna cream itu. Pada awal pintu mereka disambut oleh barisan anak laki-laki dan anak perempuan berbaju khas daerah ini. Jas tutup dan baju bodo. Agak kedalam setelah melewati meja yang diatasnya ada buku tamu, mereka disambut oleh ruangan terang dengan beragam ornament khas daerah dan banyak orang yang sebanyak meja penyajian makanan. Tidak jauh berjalan, Tiyo yang sedari tadi jalan minder dibelakang akhirnya melihat dua pasang anak manusia yang berdiri santai di sebuah panggung yang dihiasi lamming berwarna merah dengan kilau-kilauan berwarna emas dan perak. Tampak wajah salah satunya sangat dia kenal. Wajah itu tidak berubah banyak. Di panggung itulah dia menuju untuk menjabat selamat tangan wajah yang tidak berubah itu.

Meski dibarisan terakhir, Tiyo dapat dengan jelas melihat wajah Madri yang seakan menahan haru yang ingin dia teriakkan dengan panggilan khasnya dulu dengan “ Oii...” tapi Tiyo yakin make up tebalnya menghalau itu. Sampai giliran Tiyo, wajah Madri semakin mengharu biru. Matanya menitipkan sebuah perasaan rindu. Memang terakhir mereka bertemu itu terjadi tiga tahun yang lalu. Itupun di dalam angkot dan tanpa sengaja. Madri melayangkan mesra tangannya seakan ingin menampar halus Tiyo. Tiyo tersenyum .“ Akhirnya wanita ber-“otot” itu memilih suami” katanya dalam hati sambil melirik laki-laki tangguh di samping Madri. Lalu madri pun tersenyum, dan tampak lah kalau perubahan yang signifikan dari Madri adalah giginya sekarang yang menggunakan kawat. Konsentrasi Tiyo terputar, sebuah tawa besar tertahan penuh dalam mulutnya. Tawa besar seperti ketika mereka kelas satu dulu untuk menertawai gaya jalan Madri. Segera dia berjalan cepat untuk menghindari kekacauan yang bisa saja pecah dari tawa besarnya itu.


Setelah dia menghindari biang kekacauan itu dan kekahwatiran keduanya tidak terjadi. Dia lalu menuju meja yang diatasnya ada beragam lauk dan pauk. Dia lagi lagi di barisan belakang. Padahal sebenarnya dia bisa mengambil sisi sebelah meja ini yang tidak kelihatan penuh atau mencari meja lain, tapi entah kenapa dia senang melihat taman-taman lamanya  meski dia adalah objek penderita dalam kelompok itu. Tiyo mulai mengisi piringnya secara berurutan. Nasi lalu pauk. Barusan dia mau mengambil air mineral sebagai bagian paling terakhir dari menu ini, sebuah sapaan yang menandakan mahaketakutan ketiga  nya terwujud mengalun. “Iiihh...Tiyo!” sekelebat Tiyo mengangkat kepalanya. Hal belasan tahun lalu itu datang lagi menimpanya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras. Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Dia bertemu dengan titik mata hitam ditengah samudra putih itu lagi. Sekarang Uci’ berjilbab, menambah kharismanya. Tiyo senyum kaku. Uci’ tersenyum bebas. Padahal sebenarnya untuk Tiyo itu adalah senyum jahat dari seorang tukang jagal kepada leher hewan sembelihan. Dan bertambahlah penyiksaan sadis itu ketika Uci’ berbalik kearah laki-laki berperawakan klimis disampingnya sambil tersenyum. Dan serentak gedung besar berwarna cream itu runtuh menimpa Tiyo yang sedang terikat oleh rantai besar. Tak berkutik.

Selasa, 30 April 2013

Pria Pengunyah Sedotan (re-post)


Dari samar-samar butiran hujan yang lebat, kuperhatikan rintik tangis tersedu-sedu dari matanya yang menutup. Sedikit terkamuflase dengan air hujan yang jatuh tidak main-main malam ini. Lalu dia mulai meraung, menghujat dan mengutuk.

“ KENAPA INI TERJADI! INI TIDAK ADIL! DIMANA KEADILAN UNTUK AKU! INI TIDAK BENAR! DIMANA KEBENARAN ITU! DIMANA MAHA BENAR ITU? DIMANA MAHA ADIL ITU?”

Khali berteriak sekeras-kerasnya, menembusi dinding tebal hujan berangin malam ini. Aku hanya menatapnya dari bawah payung yang tadi dia tolak ketika kusodorkan untuk menaunginya dari lebat hujan. Sesekali aku tatap surat kecil yang dititipkan untuknya padaku. Catatan yang koyak karena kugenggam sambil memegang gagang payung ini. Cuma tulisan pendek dari bagian surat yang menyembul keluar yang bisa kubaca.

Semoga engkau tetap bersemangat muda dan selalu tersenyum. Semoga hati dunia ini hidup bahagia di dalam hatimu. J e R
Sebuah ucapan untuk hari lahir Khali kurasa. Ada rasa lemah dalam hatiku malam ini. Ada yang mati sedangkan baru kuimpikan lahir. Ada yang pergi meninggalkanku ketika dia mulai menangisi “Pria Pengunyah Sedotan” itu.
***
Rindangnya pohon ini sangat menguntungkan. Ranting-rantingya yang jauh menjulur keluar dan daun-daunya yang padat membuat gerimis sore ini tidak berdaya untuk membubarkan forum diskusi ini.  Forum ini selalu kunantikan. Kenapa? Karena selain aku bisa menambah pengetahuan juga akhirnya aku bisa melihat Khali dengan wajah yang seriusnya untuk memperhatikan suatu hal. Tidak tampak wajahnya bergeming untuk suatu hal yang tidak terlalu perlu selain untuk forum ini.

Aku masih saja memperhatikan wajahnya sekali-kali. Terkadang dia diam membatu, tak tampak satu gerakan pun ketika itu. Seperti ada yang serius menerpanya, menerpa dalam hatinya. Terkadang dia tersenyum simpul. Senyum yang indah. Saat itu hal yang membanggakan merasuki setiap sendi-sendi dirinya. Atau dia tertawa kecil sampai menyembunyikan tawanya itu di balik telapak tangannya. Serasa seluru dunia ikut dengan tawanya itu.  Cerita kecil yang lucu sedang berkumandang di dalam forum, itu yang memicunya. Dia sangat fokus pada forum ini. Sangat fokus dengan ucapan dari “penghulu” forum ini. Seorang seniorku yang juga terus berbicara sambil mengunyah ujung sedotan pelastik air minum mineral. Aku sangat senang memperhatikan perubahan mimik itu.

Aku teringat ketika itu. Ketika “Pria Pengunyah Sedotan” mengajak aku untuk membentuk forum ini. Dia memang sering kuajak untuk diskusi. Dia punya pandangan yang luas. Beberapa teori, yang untuk beberapa orang dibilang ekstrim, dia kuasai. Itu yang kusuka. Dia mengusulkan untuk mencari anggota lain agar diskusi menjadi lebih menarik dan ilmu yang didapat lebih beragam. Maka aku memulai merekrut dari angkatan ku sendiri. Dan orang yang pertama memperliatkan antusiasnya, yang tidak ku sangka, adalah anak paling pragmatis di angkatanku, Ya! Khali yang duluan mengajukan kesediaannya. Kulihat sumbringah di wajahnya ketika ku paparkan profile forum ini. Mulai dari landasan berpikir yang kudapat dari diskusi dengan “Pria Pengunyah Sedotan” sampai metode diskusinya.
***
Aku tidak mempedulikan lagi kalau rintik hujan ini sudah hampir full membasahi seluruh badanku. Aku hanya terus berjibaku dengan Handphone ku. Aku terus menghubungi teman-teman. “Cepat kesini, kita perlu bantuan” kalimat ini terus ku ulang-ulangi.  Kucoba terus menghubungi teman-teman yang lain. Tapi kulakukan sambil terus memperhatikan teman-teman yang lain berlari kedepan. Memunguti batu lalu melemparnya lagi. Berteriak meski ditengah hujan. Tampak wajah-wajah garang mereka ditengah hujan ini. Aku menghindari beberapa batu yang datang dari depan dan menghindar. Selalu berjalan mundur agar aku dapat melihat batu yang melayang dari depan. Aku tidak berani membelakangi lawan, terlalu berbahaya.

Aku masih menelphon kala itu. Saat dari arah depan, samar-samar oleh rintik hujan malam ini, kulihat dua teman ku mengangkat sebuah tubuh. Tak kutahu siapa itu. Sampai kedua teman itu mendekat dan segera akan melewatiku. Tak kuperhatikan wajah panik mereka, yang kuperhatikan tubuh yang mereka bawa. Jaket merah yang dialiri darah, seakan luntur warna jaketnya itu karena cucuran hujan. Itu pakaian yang pertama membangkitkan firasat buruk dalam kepalaku. Dan ketakutanku terwujud saat wajahnya nampak jelas padaku. “Pria Pengunyah Sedotan” tersungkur lemah di gendongan dua juniornya.

“SEGERA KESINI!” itu kalimat terakhir yang kuucapkan dan segera kuakhiri pembicaraan. Aku segera berjalan cepat dibelakang dua teman ku yang meggendong “Pria Pengunyah Sedotan”. Dalam pikiranku terlintas wajah-wajahnya ketika dia di beberapa acara memberikan pidato. Ajaran-ajaran yang dia lontarkan dengan pasti. “Pria Pengunyah Sedotan” apakah akan bisa melakukan itu lagi, sedangkan saat ini saja kulihat wajahnya tak berkehidupan lagi.

Tiba-tiba pikiranku terangkat dan jatuh pada sepucuk kertas yang ada di dalam saku tas kecilku. Sebuah surat kecil yang tadi sebelum tawuran ini terjadi, sebelum hujan, sewaktu kita masih duduk tenang di dalam kafe, dia serahkan kepadaku. “Besok ultah Khali kan. Ini hadiah dari saya. Kamu saja yang serahkan ya!” ini yang “Pria Pengunyah Sedotan” ucapkan sambil tersenyum kecil.” Mudah-mudahan besok tidak hujan seperti malam ini” aku berdoa sambil menatap wajah “Pria Pengunyah Sedotan” yang pucat putih dan di basahi hujan.

Senin, 15 April 2013

Cerita sebuah gelang (re-Post)

Aku menemukan sebuah gelang. Kutemukan berbaring tenang diatas bangku batu kota yang berada dipersimpangan ini. Warnanya putih, terbuat dari besi putih kupikir. Tidak seperti gelang yang dipakai oleh preman, bentuknya agak kecil. Agak pipih. Tidak kelihatan garang, tapi lebih terang. Ada beberapa debu  melengket, tapi tipis. Mungkin baru saja dijatuhkan disini.
Kasian gelang ini. Dari yang kusentuh, dia agak kedinginan. Dingin malam yang dipancarkan oleh tembok batu dia serap sedalam-dalammnya. Siapa gerangan empu gelang ini? Siapa pemiliknya? Tak mungkin dia sengaja menyia-nyiakan gelang tenang ini. Karena meski kelihatan biasa, dia sangat tenang sehingga bermakna. Pasti pemiliknya sedang kebingungan sekarang. Mencari-cari tambatan hatinya. Danau tenang tempat sampannya berputar-putar mencerna makna kehidupan yang diceritakan matahari dan bulan lewat pantulan cahaya.
Mungkin ini dagangan seorang pedagang kaki lima. Yang menjual beragam asesoris murahan. Asesoris yang dikerjakan disudut-sudut kota. Yang dibuat semirip-miripnya dengan yang dijual di dalam toko asesoris ber-brand negeri barat. Dengan jualan yang  didominasi merek produk-produk olahraga ekstrim. Ini yang dibuat semirip-miripnya. Dengan bahan yang lebih murah tapi belum tentu kekuatannya. Tidak penting sebenarnya permasalahan kekuatan. Toh konsumen dari dagangan pedagang kaki lima adalah orang-orang yang sangat dinamis dengan trend dan mode. Ketika muncul gaya baru dari band terkenal atau asesoris baru yang digunakan oleh pelakon dalam sebuah sinetron kondang, maka para konsumen dari pedagang kaki lima akan merubah arus sesuai dengan mode dari artis pujaannya itu. Dan itu pun harus direspon oleh para produsen barang “ciplakan” sebagai suplayer barang murah.
Pagi-pagi tadi pasti bapak pedagang itu sudah membuka lapaknya. Dia membentangkan selembar karpet pelastik berwarna kusam. Lalu menghamburkan barang dangangannya. Mengaturnya berkelompok. Mulai dari rantai , cincin, ikat rambut sampai pin-pin pun dia sediakan dan dengan harga murah. Setelah itu diapun menyuguhkan senyum pada orang yang berlalu lalang. Dengan teknik marketing yang didapat dengan autodidak, dia menggaet pelanggannya. Tapi saat mentari mulai berdiri  90 derajat dari kulit bumi, sekonyong-konyong saudara-saudara seprofesinya berlari sambil mengangkat barang dagangannya dengan sembarang. PENERTIPAN! Teriak mereka. Lalu dari arah yang sama muncul orang-orang berseragam biru agak tua, memegang pentungan dan menghambur apa saja yang dia anggap mengganggu keindahan kota. Sang pedagang pun melakukan hal yang sama dengan teman-tamannya. Menggulung dengan sembarang karpetnya dan memeluknya lalu kabur. Tak dipedulikanlah beberapa barang yang terjatuh, asal tidak banyak dan bukan tertangkap, karena bakal sulit mengurus untuk keluarnya.
Bisa jadi harga gelang ini tidak seberapa, tapi kalau ada beberapa yang terjatuh, itu akan menjadi suatu yang berharga. Kucoba melongok kesana-sini, siapa tau masih ada yang tercecer. Tapi tidak ada.
Lalu indra penciumanku mengendus sesuatu yang menusuk. Bau yang aneh, tidak bau tapi juga mengganggu. Parfum murahan. Kubalik sana sini tapi tidak ada orang yang melintas. Hanya tadi ada mobil mewah yang berlalu dari arah lorong itu. Lorong yang ujungnya terkenal dengan segala hal yang berbau “syahwat”. Selangkangan.
Hayalku merebak jauh kelorong itu. Jangan-jangan ini milik seorang wanita dari lorong itu. Dari bentuknya gelang ini memang lebih cocok dipakai oleh seorang wanita dan dari gayanya, tentu saja, wanita dari kelas bawah. Dia wanita “pelacur” yang agak senior, atau tepatnya usang. Setengah baya. Kerutan sudah tampak disekitar kulit wajahnya, meski dia alasi dengan bedak yang setebal-tebalnya. Daging dadanya pun begitu, sudah kempis oleh usia. Daging tangan juga keriput di jari-jarinya meneriakkan keusangan. Setengah nyawa dia berusaha untuk menutupi ketuaannya itu. Dari sore dia menghambur beragam alat kosmetik di wajahnya. Dipilih pakaian yang nyaris mencekik seluruh kulit tuanya, agar kelihatan kencang. Tapi tetap saja, dia sudah tua. Hingga dia harus punya strategi ekstra sampai harus banting harga untuk memastikan ada hasil malam ini. Tidak lagi dia harus pilih-pilih pelanggan atau kalah saingnya bertambah parah.
Dia berlari-lari kesini. Kearah bangku ini. Kearah dua orang yang sedang bercumbu disini. Seorang pria berkumis berwajah bangsat dan seorang wanita muda berpakaian seronok. Dia berlari kecil kearah mereka. Sesampainya disini, tanpa membiarkan lelahnya hilang, dia langsung menjambak rambut wanita muda tadi. Sang pria diam, kaget. Wanita muda tadi berteriak kesakitan. WANITA ANJING! MASIH BAU KENCUR SUDAH BERANI! Teriaknya. Wanita muda tadi hanya berteriak kesakitan. Rupanya pria berwajah mesum tadi adalah pelanggan sehari-hari wanita paruh baya ini. Tapi tadi wanita muda itu mencegat si “mas” disini, sebelum masuk kelorong itu. Wanita paru baya geram mendengar berita ini dan kalap. Tak ada lagi kesadaran yang menemaninya dia hanya mengahantam. Wanita muda kehabisan kesabaran, akhirnya membalas mencakar dan menarik-narik. Pertarunganpun semakin sengit ditonton orang-orang. Tapi bagai manapun semangat wanita paru baya itu, dia tetaplah lemah di banding wanita muda itu. Sebuah tinju kecil melayang kewajah wanita paru baya. Pandangannya gelap, dia pun terjatuh kearah jalan. Pria hidung belang tadi dengan segala rasa bersalahnya mencoba menangkap tangannya tapi tak kuat sehingga gelang wanita paru baya lah yang terlepas dan kepalannya terantuk aspal jalanan. Dia pingsan. Begitulah akhir pertarungan dua “kucing” jalanan. Dan wanita paru baya yang harus kalah oleh waktu.
Kasian wanita paru baya itu. Alih-alih pelanggannya berhasil dia rebut, malah luka yang dia terima. Aku menatap lorong itu. Ingin aku merengsek masuk dan mencari berita wanita paru baya itu dan menyerahkan gelangnya. Tapi keberanian itu kecil, aku belum siap dengan predikat yang disandang lorong itu.
Lalu kembali aku menatap gelap sekitar tempat ini. Sangat sepi. Kubiarkan imajinasiku melayang liar untuk meraba empu gelang ini. Aku mulai menghayal untuk pemilik gelang ini. Mulai dari seorang siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang memiliki sisa uang jajan karena ada rapat guru sehingga sekolah pulang cepat. Akhirnya dia bisa membeli asesoris seperti milik teman-temannya di pasar kampung dekat sini. Senangnya minta ampun, sampai-sampai dia membuat salah satu belanjaannya tercecer disini. Atau seorang preman pasar yang baru saja menjambret tas seorang ibu-ibu gendut yang lengah ketika belanja. Isi tasnya tidak cukup berharga, hanya beberapa ratus ribu rupiah, beberapa alat kosmetik murahan dan gelang ini. Tapi yang paling tidak berharga adalah gelang ini, dia sudah punya banyak ditangannya bahkan lebih besar, makanya dia campakkan saja di bangku ini. Kosmetik dan tasnya bisalah dia persembahkan untuk wanita “jalang”nya. Apa lagi lembaran ratusan rupiah itu, bisa buat makan dan selebinhya buat mabuk.
Hayalku sampai pada sebuah wajah seorang wanita muda berparas sopan. Dia berkerudung kecil megikuti bentuk kepalanya yang bulat oleh pipinya yang gempal. Dia juga kecil, 140 – 150an centimeter kupikir. Bertubuh agak gendut (tidak terlalu gendut) tapi memiliki senyum manis yang mengangkat sebuah tahi lalat kecil tepat ditengah pipi kanannya lebih mendekat kematanya yang agak sipit.Dia bukan dari kelas yang terlalu bawah. Dia duduk persis ditempatku duduk sekarang. Tampak wajah gelisah diwajahnya. Dia menanti seseorang. Seorang kekasih tampaknya. Seorang kekasih yang beberapa hari lalu, ketika dia mengabarkan akan pergi untuk waktu yang tidak sebentar, marah karena tidak menginginkan perpisahan. Memang tampak dia akan pergi jauh, entah kemana. Sebuah tas ransel sedang dan berwarna hitam usang  duduk tepat di samping kirinya. Kemarin malam sebuah short message service dikirimkan oleh kekasihnya setelah beberapa hari diam. Permintaan untuk bertemu disini sebelum  dia pergi.
Wajahnya makin gelisah. Apakah dia tidak jadi mau datang. Dia melihat jam di tangan kirinya, sudah hampir. Lalu dia memutar-mutar gelang putih di tangan kanannya, berputar mengelilingi pergelangan tangannya. Semakin tidak terarah, dia gelisah. Sampai waktu seharusnya dia pergi, kekasih tak kunjung datang. Setetes air mata mengalir. Dia lepaskan gelangnya dan membaringkannya dibangku ini sebelum meraih tasnya dan pergi.
Tiba-tiba hayal ku berhenti oleh sebuah langkah sendal jepit. Berhenti tepat disampingku. Aku lalu memanatapi orang ini dari sendal sampai kepalanya. Dia menggunakan kaos oblong berlogokan sebuah kampus negeri di kota ini. Dia meggandeng tas ransel. Tampak matanya tidak lepas dariku, tapi nanar, tapi marah (paradoks). Aku jadi risih dengan mata itu. Seperti dia berharap sesuatu miliknya yang kurebut. Tak berapa helaan napas yang dia tarik sangat dalam, dia lalu menghempaskan badannya dan terduduk disampingku. Dia duduk sambil menunduk dan membungkuk. Wajah pucatnya lalu dia sandarkan pada telapak tangannya yang sikutnya bertumpu pada pahanya. “ Dia tidak datang!” gerutunya kecil dibalik kedua telapak tangannya. Aku lalu melihat dengan bingung pada pria ini. Sampai kuperhatikan sebuah gelang ditangan kirinya. Aku lalu menyodorkan tanganku yang menggenggam gelang hilang tadi kearah wajahnya. “ Atau mungkin kamu yang terlambat!” kataku.

Sabtu, 12 Mei 2012

Kalimat di atas daun terakhir

Sajak cinta pamungkas terluka juga
Kering kata dari setiap alur barisnya
Izrail berjinjit-jinjit menghampiri makna
Dan sebentar lagi cinta akan melihat mayatnya di keranda

Oh... betapa malang sang pecinta yang menyembah fisiknya
Lupa sedang menari diatas mimpi yang tak menyentuh ruang
Terus termangu menunggu bintang utara bergerak
Sementara waktu terus melebarkan derita

Aku nanar mentap pohon ku mengering
Kulit batangnya terkelupas seperti kudis
Ranting-rantingnya kurus nestapa tak benadi
Daun-daunnya coklat hangus berguguran mati

Ada helaan nafas mengharap asa
Ketika kehidupan bertumpu pada satu nama
Laksana lubang hitam untuk via Lactea
Menenggelamkan dan melenyapkan

Satu lembar daun menggelantung setengah nafas
Sisi-sisinya mulai ditinggalkan klorofil
Ruas-ruasnya mulai mencoklat
Tapi masih kudapati barisan kata diatas pundaknya, sebuah asa

Kusadari kekuatan harapan
Itu yang membuatku berhenti untuk waktu yang tidak sebentar
Sebuah kalimat yang meminta ku tinggal sebentar lagi saja
Sesuatu yang berteriak pada dunia bahwa akar-akarnya masih menancap tajam

Sebuah kalimat di atas daun terakhir
Bahwa cinta tidak selamanya bersama
Bahwa cinta mungkin berakhir tragis
Bahwa cinta bukan mimpi tapi nyata
Tapi cinta yang ini menunggu sampai nafas terakhir pergi

Senin, 12 September 2011

Catatan Rindu yang gamang

Masih terapung-apung bersama biduk
Di atas danau yang juga tidak pernah jadi milikku itu
Mencari  tepi masa dimana diriku bisa bertemu harapan
Tapi tak kunjung tiba bayang maya bulan kelabu memudar

Kita bersama dalam ruang sempit tak bersisi
Dipisahkan mimpi yang tak pernah punya kesamaan
Sesekali kuketuk dari sisi lain partisi ini
Suaranya terlalu naïf hingga tampak menjijikkan
Kata  berjubah pembelaan sang pengemis
Aku terkubur dalam anekdot diatas panggung pementasan ketoprak

Ada bulir peluh membasahi kening
Habis sudah energi terhisap ruang temaram itu
Sedang lagu terus mengalun datar mengantar kau hilang
Maka lelah mengusikku untuk terasing dari kewarasan yang utuh

Kucoba menyelamatkan diri pada jiwa yang lain
Memberi peran sahabat dalam elegi yang sedang didiktekan ini
Tapi ini dunia nyata yang dimana Tuhan berarti "disini tidak ada yang gratis"
Maka kemiskinan membunuhku untuk kesekiankali

Dimana kau kekasihku dulu?
Yang menggenggam telapak kanan ku dengan penuh rindu
Yang membiarkan ku membelai mu dengan pujian-pujian seluas langit biru
Pergikah kau menghilang dengan sayap ku yang ku berikan untuk mu dulu
Lepas dari sangkar hati yang akhirnya juga diriku
Tapi seperti jiwaku, kemana pun dirimu kau tetap yang terkasih untukku

Dimanakah bintang utara kini?
Masihkan yang kutitipkan mempunyai sinar
Karena tampak semakin meredup dari bawah sini
Aku akan terus menunggu jawaban itu datang
Dan sampai ketika petang pun menghampiri
Dan atau ketika itu tak ada lagi senandung cinta terdengar dari utara
Aku akan terus diatas biduk itu untuk terapung dibawa naungan pohon ini
Dengan cintaku yang tak terkikis masa
Dengan penantianku yang tak kunjung usai

Rabu, 06 Juli 2011

Suara Sumbang si Pengganggu

Aku sepertinya sudah membuatmu sesak
Gelisah dengan keluhkesah ku
Gerah oleh bayang-bayang ku
Garang pada keras kepala ku
Atau kau sudah muak pada kelemahan yang ada

Aku meminta maaf,
Dalam belajar diriku kudapati sekarang
Mencoba menghapus dirimu yang tidak kunjung tiba
Terseok-seok antara keinginan dan keadaan
Mungkin itu memang memuakkan tapi aku terus saja bernafas
 
Malam menyimpan rindu, siang mengejek keterasingan
Dimana akan kutempatkan diriku yang usang
Dengan getaran pada kehausan akan lembut sang bintang
Atau kerinduan untuk menjadi sahabat matahari yang nyalang
Aku tidak tahu apa kah aku juga masih mahluk dari yang agung

Kumohon biarkan orkestra sumbang ini terus mengalun
Bunyi bisik lirih setengah harapan
Tak usah kau memberi banyak tanggapan
Cukup biarkan aku menggerutu dikursi penonton

Karena mungkin sebentar lagi petang
Karena mungkin asa pun akan berpamitan
Saat itu tidak ada lagi bisik si pengganggu
Saat itu kita tenang dari ditempat kita terakhir beradu

 
Copyright (c) 2010 anne nakke. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.