Aku menemukan sebuah gelang.
Kutemukan berbaring tenang diatas bangku batu kota yang berada dipersimpangan
ini. Warnanya putih, terbuat dari besi putih kupikir. Tidak seperti gelang yang
dipakai oleh preman, bentuknya agak kecil. Agak pipih. Tidak kelihatan garang,
tapi lebih terang. Ada beberapa debu melengket, tapi tipis. Mungkin baru saja
dijatuhkan disini.
Kasian gelang ini. Dari yang
kusentuh, dia agak kedinginan. Dingin malam yang dipancarkan oleh tembok batu
dia serap sedalam-dalammnya. Siapa gerangan empu gelang ini? Siapa pemiliknya?
Tak mungkin dia sengaja menyia-nyiakan gelang tenang ini. Karena meski
kelihatan biasa, dia sangat tenang sehingga bermakna. Pasti pemiliknya sedang
kebingungan sekarang. Mencari-cari tambatan hatinya. Danau tenang tempat
sampannya berputar-putar mencerna makna kehidupan yang diceritakan matahari dan
bulan lewat pantulan cahaya.
Mungkin ini dagangan seorang
pedagang kaki lima. Yang menjual beragam asesoris murahan. Asesoris yang
dikerjakan disudut-sudut kota. Yang dibuat semirip-miripnya dengan yang dijual
di dalam toko asesoris ber-brand
negeri barat. Dengan jualan yang didominasi merek produk-produk olahraga
ekstrim. Ini yang dibuat semirip-miripnya. Dengan bahan yang lebih murah tapi
belum tentu kekuatannya. Tidak penting sebenarnya permasalahan kekuatan. Toh
konsumen dari dagangan pedagang kaki lima adalah orang-orang yang sangat
dinamis dengan trend dan mode. Ketika muncul gaya baru dari band terkenal atau asesoris
baru yang digunakan oleh pelakon dalam sebuah sinetron kondang, maka para
konsumen dari pedagang kaki lima akan merubah arus sesuai dengan mode dari
artis pujaannya itu. Dan itu pun harus direspon oleh para produsen barang
“ciplakan” sebagai suplayer barang murah.
Pagi-pagi tadi pasti bapak pedagang
itu sudah membuka lapaknya. Dia membentangkan selembar karpet pelastik berwarna
kusam. Lalu menghamburkan barang dangangannya. Mengaturnya berkelompok. Mulai
dari rantai , cincin, ikat rambut sampai pin-pin pun dia sediakan dan dengan
harga murah. Setelah itu diapun menyuguhkan senyum pada orang yang berlalu
lalang. Dengan teknik marketing yang didapat dengan autodidak, dia menggaet pelanggannya. Tapi saat mentari mulai
berdiri 90 derajat dari kulit bumi,
sekonyong-konyong saudara-saudara seprofesinya berlari sambil mengangkat barang
dagangannya dengan sembarang. PENERTIPAN! Teriak mereka. Lalu dari arah yang
sama muncul orang-orang berseragam biru agak tua, memegang pentungan dan
menghambur apa saja yang dia anggap mengganggu keindahan kota. Sang pedagang
pun melakukan hal yang sama dengan teman-tamannya. Menggulung dengan sembarang
karpetnya dan memeluknya lalu kabur. Tak dipedulikanlah beberapa barang yang
terjatuh, asal tidak banyak dan bukan tertangkap, karena bakal sulit mengurus untuk
keluarnya.
Bisa jadi harga gelang ini tidak
seberapa, tapi kalau ada beberapa yang terjatuh, itu akan menjadi suatu yang
berharga. Kucoba melongok kesana-sini, siapa tau masih ada yang tercecer. Tapi
tidak ada.
Lalu indra penciumanku mengendus
sesuatu yang menusuk. Bau yang aneh, tidak bau tapi juga mengganggu. Parfum
murahan. Kubalik sana sini tapi tidak ada orang yang melintas. Hanya tadi ada
mobil mewah yang berlalu dari arah lorong itu. Lorong yang ujungnya terkenal
dengan segala hal yang berbau “syahwat”. Selangkangan.
Hayalku merebak jauh kelorong itu.
Jangan-jangan ini milik seorang wanita dari lorong itu. Dari bentuknya gelang
ini memang lebih cocok dipakai oleh seorang wanita dan dari gayanya, tentu
saja, wanita dari kelas bawah. Dia wanita “pelacur” yang agak senior, atau
tepatnya usang. Setengah baya. Kerutan sudah tampak disekitar kulit wajahnya,
meski dia alasi dengan bedak yang setebal-tebalnya. Daging dadanya pun begitu,
sudah kempis oleh usia. Daging tangan juga keriput di jari-jarinya meneriakkan
keusangan. Setengah nyawa dia berusaha untuk menutupi ketuaannya itu. Dari sore
dia menghambur beragam alat kosmetik di wajahnya. Dipilih pakaian yang nyaris
mencekik seluruh kulit tuanya, agar kelihatan kencang. Tapi tetap saja, dia
sudah tua. Hingga dia harus punya strategi ekstra sampai harus banting harga untuk
memastikan ada hasil malam ini. Tidak lagi dia harus pilih-pilih pelanggan atau
kalah saingnya bertambah parah.
Dia berlari-lari kesini. Kearah
bangku ini. Kearah dua orang yang sedang bercumbu disini. Seorang pria berkumis
berwajah bangsat dan seorang wanita muda berpakaian seronok. Dia berlari kecil
kearah mereka. Sesampainya disini, tanpa membiarkan lelahnya hilang, dia
langsung menjambak rambut wanita muda tadi. Sang pria diam, kaget. Wanita muda
tadi berteriak kesakitan. WANITA ANJING! MASIH BAU KENCUR SUDAH BERANI!
Teriaknya. Wanita muda tadi hanya berteriak kesakitan. Rupanya pria berwajah
mesum tadi adalah pelanggan sehari-hari wanita paruh baya ini. Tapi tadi wanita
muda itu mencegat si “mas” disini, sebelum masuk kelorong itu. Wanita paru baya
geram mendengar berita ini dan kalap. Tak ada lagi kesadaran yang menemaninya
dia hanya mengahantam. Wanita muda kehabisan kesabaran, akhirnya membalas
mencakar dan menarik-narik. Pertarunganpun semakin sengit ditonton orang-orang.
Tapi bagai manapun semangat wanita paru baya itu, dia tetaplah lemah di banding
wanita muda itu. Sebuah tinju kecil melayang kewajah wanita paru baya.
Pandangannya gelap, dia pun terjatuh kearah jalan. Pria hidung belang tadi
dengan segala rasa bersalahnya mencoba menangkap tangannya tapi tak kuat
sehingga gelang wanita paru baya lah yang terlepas dan kepalannya terantuk
aspal jalanan. Dia pingsan. Begitulah akhir pertarungan dua “kucing” jalanan.
Dan wanita paru baya yang harus kalah oleh waktu.
Kasian wanita paru baya itu.
Alih-alih pelanggannya berhasil dia rebut, malah luka yang dia terima. Aku
menatap lorong itu. Ingin aku merengsek masuk dan mencari berita wanita paru
baya itu dan menyerahkan gelangnya. Tapi keberanian itu kecil, aku belum siap
dengan predikat yang disandang lorong itu.
Lalu kembali aku menatap gelap
sekitar tempat ini. Sangat sepi. Kubiarkan imajinasiku melayang liar untuk
meraba empu gelang ini. Aku mulai menghayal untuk pemilik gelang ini. Mulai dari
seorang siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang memiliki sisa uang jajan
karena ada rapat guru sehingga sekolah pulang cepat. Akhirnya dia bisa membeli
asesoris seperti milik teman-temannya di pasar kampung dekat sini. Senangnya
minta ampun, sampai-sampai dia membuat salah satu belanjaannya tercecer disini.
Atau seorang preman pasar yang baru saja menjambret tas seorang ibu-ibu gendut
yang lengah ketika belanja. Isi tasnya tidak cukup berharga, hanya beberapa
ratus ribu rupiah, beberapa alat kosmetik murahan dan gelang ini. Tapi yang
paling tidak berharga adalah gelang ini, dia sudah punya banyak ditangannya
bahkan lebih besar, makanya dia campakkan saja di bangku ini. Kosmetik dan
tasnya bisalah dia persembahkan untuk wanita “jalang”nya. Apa lagi lembaran
ratusan rupiah itu, bisa buat makan dan selebinhya buat mabuk.
Hayalku sampai pada sebuah wajah
seorang wanita muda berparas sopan. Dia berkerudung kecil megikuti bentuk
kepalanya yang bulat oleh pipinya yang gempal. Dia juga kecil, 140 – 150an centimeter
kupikir. Bertubuh agak gendut (tidak terlalu gendut) tapi memiliki senyum manis
yang mengangkat sebuah tahi lalat kecil tepat ditengah pipi kanannya lebih
mendekat kematanya yang agak sipit.Dia bukan dari kelas yang terlalu bawah. Dia
duduk persis ditempatku duduk sekarang. Tampak wajah gelisah diwajahnya. Dia
menanti seseorang. Seorang kekasih tampaknya. Seorang kekasih yang beberapa
hari lalu, ketika dia mengabarkan akan pergi untuk waktu yang tidak sebentar,
marah karena tidak menginginkan perpisahan. Memang tampak dia akan pergi jauh,
entah kemana. Sebuah tas ransel sedang dan berwarna hitam usang duduk tepat di samping kirinya. Kemarin malam
sebuah short message service dikirimkan
oleh kekasihnya setelah beberapa hari diam. Permintaan untuk bertemu disini
sebelum dia pergi.
Wajahnya makin gelisah. Apakah dia
tidak jadi mau datang. Dia melihat jam di tangan kirinya, sudah hampir. Lalu
dia memutar-mutar gelang putih di tangan kanannya, berputar mengelilingi
pergelangan tangannya. Semakin tidak terarah, dia gelisah. Sampai waktu
seharusnya dia pergi, kekasih tak kunjung datang. Setetes air mata mengalir.
Dia lepaskan gelangnya dan membaringkannya dibangku ini sebelum meraih tasnya
dan pergi.
Tiba-tiba hayal ku berhenti oleh
sebuah langkah sendal jepit. Berhenti tepat disampingku. Aku lalu memanatapi
orang ini dari sendal sampai kepalanya. Dia menggunakan kaos oblong berlogokan
sebuah kampus negeri di kota ini. Dia meggandeng tas ransel. Tampak matanya
tidak lepas dariku, tapi nanar, tapi marah (paradoks). Aku jadi risih dengan
mata itu. Seperti dia berharap sesuatu miliknya yang kurebut. Tak berapa helaan
napas yang dia tarik sangat dalam, dia lalu menghempaskan badannya dan terduduk
disampingku. Dia duduk sambil menunduk dan membungkuk. Wajah pucatnya lalu dia
sandarkan pada telapak tangannya yang sikutnya bertumpu pada pahanya. “ Dia
tidak datang!” gerutunya kecil dibalik kedua telapak tangannya. Aku lalu melihat
dengan bingung pada pria ini. Sampai kuperhatikan sebuah gelang ditangan
kirinya. Aku lalu menyodorkan tanganku yang menggenggam gelang hilang tadi
kearah wajahnya. “ Atau mungkin kamu yang terlambat!” kataku.