Dari samar-samar butiran hujan yang lebat,
kuperhatikan rintik tangis tersedu-sedu dari matanya yang menutup. Sedikit
terkamuflase dengan air hujan yang jatuh tidak main-main malam ini. Lalu dia
mulai meraung, menghujat dan mengutuk.
“ KENAPA INI TERJADI! INI TIDAK ADIL! DIMANA
KEADILAN UNTUK AKU! INI TIDAK BENAR! DIMANA KEBENARAN ITU! DIMANA MAHA BENAR
ITU? DIMANA MAHA ADIL ITU?”
Khali berteriak sekeras-kerasnya, menembusi
dinding tebal hujan berangin malam ini. Aku hanya menatapnya dari bawah payung
yang tadi dia tolak ketika kusodorkan untuk menaunginya dari lebat hujan. Sesekali
aku tatap surat kecil yang dititipkan untuknya padaku. Catatan yang koyak
karena kugenggam sambil memegang gagang payung ini. Cuma tulisan pendek dari bagian
surat yang menyembul keluar yang bisa kubaca.
Semoga engkau tetap
bersemangat muda dan selalu tersenyum. Semoga hati dunia ini hidup bahagia di
dalam hatimu. J e R
Sebuah ucapan untuk hari lahir Khali kurasa. Ada
rasa lemah dalam hatiku malam ini. Ada yang mati sedangkan baru kuimpikan
lahir. Ada yang pergi meninggalkanku ketika dia mulai menangisi “Pria Pengunyah
Sedotan” itu.
***
Rindangnya pohon ini sangat menguntungkan.
Ranting-rantingya yang jauh menjulur keluar dan daun-daunya yang padat membuat
gerimis sore ini tidak berdaya untuk membubarkan forum diskusi ini. Forum ini selalu kunantikan. Kenapa? Karena
selain aku bisa menambah pengetahuan juga akhirnya aku bisa melihat Khali
dengan wajah yang seriusnya untuk memperhatikan suatu hal. Tidak tampak
wajahnya bergeming untuk suatu hal yang tidak terlalu perlu selain untuk forum
ini.
Aku masih saja memperhatikan wajahnya
sekali-kali. Terkadang dia diam membatu, tak tampak satu gerakan pun ketika
itu. Seperti ada yang serius menerpanya, menerpa dalam hatinya. Terkadang dia
tersenyum simpul. Senyum yang indah. Saat itu hal yang membanggakan merasuki
setiap sendi-sendi dirinya. Atau dia tertawa kecil sampai menyembunyikan
tawanya itu di balik telapak tangannya. Serasa seluru dunia ikut dengan tawanya
itu. Cerita kecil yang lucu sedang
berkumandang di dalam forum, itu yang memicunya. Dia sangat fokus pada forum
ini. Sangat fokus dengan ucapan dari “penghulu” forum ini. Seorang seniorku
yang juga terus berbicara sambil mengunyah ujung sedotan pelastik air minum
mineral. Aku sangat senang memperhatikan perubahan mimik itu.
Aku teringat ketika itu. Ketika “Pria Pengunyah
Sedotan” mengajak aku untuk membentuk forum ini. Dia memang sering kuajak untuk
diskusi. Dia punya pandangan yang luas. Beberapa teori, yang untuk beberapa
orang dibilang ekstrim, dia kuasai. Itu yang kusuka. Dia mengusulkan untuk
mencari anggota lain agar diskusi menjadi lebih menarik dan ilmu yang didapat
lebih beragam. Maka aku memulai merekrut dari angkatan ku sendiri. Dan orang
yang pertama memperliatkan antusiasnya, yang tidak ku sangka, adalah anak paling
pragmatis di angkatanku, Ya! Khali yang duluan mengajukan kesediaannya. Kulihat
sumbringah di wajahnya ketika ku paparkan profile forum ini. Mulai dari
landasan berpikir yang kudapat dari diskusi dengan “Pria Pengunyah Sedotan”
sampai metode diskusinya.
***
Aku tidak mempedulikan lagi kalau rintik hujan
ini sudah hampir full membasahi seluruh badanku. Aku hanya terus berjibaku
dengan Handphone ku. Aku terus menghubungi teman-teman. “Cepat kesini, kita
perlu bantuan” kalimat ini terus ku ulang-ulangi. Kucoba terus menghubungi teman-teman yang
lain. Tapi kulakukan sambil terus memperhatikan teman-teman yang lain berlari
kedepan. Memunguti batu lalu melemparnya lagi. Berteriak meski ditengah hujan.
Tampak wajah-wajah garang mereka ditengah hujan ini. Aku menghindari beberapa
batu yang datang dari depan dan menghindar. Selalu berjalan mundur agar aku
dapat melihat batu yang melayang dari depan. Aku tidak berani membelakangi
lawan, terlalu berbahaya.
Aku masih menelphon kala itu. Saat dari arah
depan, samar-samar oleh rintik hujan malam ini, kulihat dua teman ku mengangkat
sebuah tubuh. Tak kutahu siapa itu. Sampai kedua teman itu mendekat dan segera
akan melewatiku. Tak kuperhatikan wajah panik mereka, yang kuperhatikan tubuh
yang mereka bawa. Jaket merah yang dialiri darah, seakan luntur warna jaketnya
itu karena cucuran hujan. Itu pakaian yang pertama membangkitkan firasat buruk
dalam kepalaku. Dan ketakutanku terwujud saat wajahnya nampak jelas padaku.
“Pria Pengunyah Sedotan” tersungkur lemah di gendongan dua juniornya.
“SEGERA KESINI!” itu kalimat terakhir yang
kuucapkan dan segera kuakhiri pembicaraan. Aku segera berjalan cepat dibelakang
dua teman ku yang meggendong “Pria Pengunyah Sedotan”. Dalam pikiranku
terlintas wajah-wajahnya ketika dia di beberapa acara memberikan pidato.
Ajaran-ajaran yang dia lontarkan dengan pasti. “Pria Pengunyah Sedotan” apakah
akan bisa melakukan itu lagi, sedangkan saat ini saja kulihat wajahnya tak
berkehidupan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar