Tiyo berbalik kebelakang dengan cepat. Terasa
ada sengatan kecil merajam kulit belakangnya. Ada yang menjepit sedikit
kulitnya lalu memelintirnya nyaris 90 derajat.
Lelaki 11 tahun ini berbalik sambil merapatkan kedua ujung alisnya
dengan geram. Dalam kepalanya menggerutu.” Apa dia tidak tahu kalau berdiri
selama kurang lebih 30 menit dalam damri
reok yang sangat bergetar ini sudah cukup membuat menderita anak kecil, malah
di tambah cubitan” geram dalam kepalanya.
Tapi setelah dia berbalik, keadaan juga
berbalik. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya
menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras.
Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub
kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Membuat
lemas tempurung lututnya. Titik mata hitam yang sangat jernih ditengah mata dan
kulit wajah yang seperti lautan putih berhasil membuatnya grogi. Meski dengan senyum jahat, wajah itu membuatnya senang
hingga tak berkutik. Bukan takut hingga binasa.
Baru kali ini Uci’, melakukan itu. Biasanya Tiyo
yang duluan menggoda. Dia berfikir mungkin Uci’ masih marah ketika beberapa
minggu yang lalu dia rela memanjat ke flafon pos yang dibelakangnya ada tempat
biasanya Uci’ jajan ketika istirahat. Hal itu dia lakukan untuk bisa menarik
pita kecil yang mengikat rambut Uci’ dan akhirnya memaksa Uci’ masuk kepos
untuk marah ketika meminta pita itu kembali. Itu sebuah keasikan melihat mata
yang nyaris sipit itu dipaksa terbuka lebar oleh pemiliknya, membuatnya semakin
manis.
***
Tiyo memperhatikan rambut sebahu itu bergoyang
karena semua bagian tubuh wanita itu bergoyang kalau jalan. Dengan gaya jalan
seperti pria, wajar kalau wanita ini memilih masuk kesekolah kejuruan untuk
mayoritas laki-laki. Karena meski menggunakan rok dia masih saja seperti
laki-laki. Dan sekarang laki-laki ber-rok. Tiyo lalu mempercepat langkahnya,
Dullah disampingnya juga melakukan itu. Mereka berdua melewati Madri dan
beberapa teman laki-laki yang berjalan bersamanya.“ Oi... Besok anak-anak mau
ke malino untuk perpisahan” Madri berteriak seperti laki-laki kepada Tiyo dan
Dullah yang berlalu begitu saja.
Tiyo dan Dullah duduk di bangku milik sebuah warung.
Mereka tidak langsung menahan Angkot dan pergi. Seperti biasa mereka mampir
dulu di warung untuk merokok dan memperhatikan cewek SMU lain melintas untuk
pulang. Rusmin yang tadi dilalui kedua orang itu menghampiri Tiyo.
“Bagai mana. Besok ikut toh?” Rusmin mencoba
akrab. Tiyo cuman senyum.
“Jangan begitu. Setau saya kau dan Madri waktu
kelas 1 adalah teman akrab. Kenapa kau marah sampai nyaris dua tahun padanya?”
Rusmin berbicara lagi.
Belum sempat Tiyo menjawab. Madri sudah nongol
dari belakang dan meluncurkan perkataan dengan suaranya dengan keras.“Bagai
mana Tiyo, besok ikut ya?”
Tiyo diam. Madri menatapnya seakan tidak pernah
ada masalah diantara mereka. Lalu Tiyo tersenyum sebelum mengangguk, Iya!
Senyum pertama dari Tiyo untuk Madri setelah nyaris dua tahun senyum itu
hilang.
***
Kota ini jadi kota hujan. Seperti kota-kota di
sekitaran Vietnam dan Thailand. Dingin menambah kebosanan ini. Tiyo berdiri
sambil menatap jejeran motor yang dibasahi di dalam gelap ini. Sementara
disampingnya Jangkung masih saja sibuk untuk menghubungi teman-teman yang lain.
Mau memastikan apakah mereka jadi datang keacara ini. “Mana mungkin ada yang
datang. Tidak mungkin hanya untuk wanita ber-“otot” ini, ada yang setolol ini
mau menembus hujan lebat ini. Cuma kita berdua yang terkecuali untuk itu”
gerutunya dalam hati. Dia menatap lagi parkiran dekat tempat mereka berdiri,
berteduh, untuk menunggu teman-tamannya agar tidak berdua saja masuk kedalam
ruangan pernikahan itu. Tiyo berfikir andai saja dia memutus ritualnya tuk
pulang kerumah setiap pagi untuk hari ini saja mungkin dia tidak akan menemukan
undangan pernikahan Madri yang diantar Jangkung ke rumahnya malam sebelumnya.
Untuk membunuh kejenuhannya, diraihnya
Handphone bututnya. Seperti biasa, dia menganggap dengan meng-sms Dut selalu
bisa mematikan kejenuhannya. Sembari menunggu setiap balasan sms dari Dut, dia
melambungkan pikirannya pada apa yang akan dia temui beberapa waktu nanti, di
dalam ruangan ”riuh” itu. Bagai mana kalau ketemu dengan teman-teman, yang
menurut informasi dari Jangkung, sudah mempunyai bini dan pekerjaan mapan. Apa
yang akan dia jelaskan dengan “pujian pedas” Adi terhadap dirinya yang belum bisa
menyelesaikan kuliah sampai selama itu. Kekhawatiran kedua adalah bagai mana
kalau ternyata didalam Madri sudah tidak mengenalnya lagi. Atau kalaupun dia
masih dikenal, tapi tidak diperhatikan karena banyaknya tamu yang tentu saja
lebih ber-“bobot” dari mahasiswa usang seperti dia. Dan ketakutan yang paling
dia khawatirkan adalah bertemu Uci’. Dia tahu kalau Uci’ adalah teman sekampus
Madri, informasi ini dia dapat beberapa tahun yang lalu. Kepucatan itu yang dia
takutkan. Tiyo selalu tidak siap melihat titik mata hitam ditengah samudra
putih itu.
Setelah teman-teman yang ditunggu sudah datang
dan kekhawatiran pertama terwujud dengan sempurna, mereka berjalan merengsek
masuk kedalam ruangan besar berwarna cream
itu. Pada awal pintu mereka disambut oleh barisan anak laki-laki dan anak
perempuan berbaju khas daerah ini. Jas tutup dan baju bodo. Agak kedalam
setelah melewati meja yang diatasnya ada buku tamu, mereka disambut oleh
ruangan terang dengan beragam ornament khas daerah dan banyak orang yang
sebanyak meja penyajian makanan. Tidak jauh berjalan, Tiyo yang sedari tadi
jalan minder dibelakang akhirnya melihat dua pasang anak manusia yang berdiri
santai di sebuah panggung yang dihiasi lamming
berwarna merah dengan kilau-kilauan berwarna emas dan perak. Tampak wajah salah
satunya sangat dia kenal. Wajah itu tidak berubah banyak. Di panggung itulah
dia menuju untuk menjabat selamat tangan wajah yang tidak berubah itu.
Meski dibarisan terakhir, Tiyo dapat dengan
jelas melihat wajah Madri yang seakan menahan haru yang ingin dia teriakkan
dengan panggilan khasnya dulu dengan “ Oii...” tapi Tiyo yakin make up tebalnya menghalau itu. Sampai
giliran Tiyo, wajah Madri semakin mengharu biru. Matanya menitipkan sebuah
perasaan rindu. Memang terakhir mereka bertemu itu terjadi tiga tahun yang
lalu. Itupun di dalam angkot dan tanpa sengaja. Madri melayangkan mesra
tangannya seakan ingin menampar halus Tiyo. Tiyo tersenyum .“ Akhirnya wanita
ber-“otot” itu memilih suami” katanya dalam hati sambil melirik laki-laki
tangguh di samping Madri. Lalu madri pun tersenyum, dan tampak lah kalau
perubahan yang signifikan dari Madri adalah giginya sekarang yang menggunakan
kawat. Konsentrasi Tiyo terputar, sebuah tawa besar tertahan penuh dalam
mulutnya. Tawa besar seperti ketika mereka kelas satu dulu untuk menertawai
gaya jalan Madri. Segera dia berjalan cepat untuk menghindari kekacauan yang
bisa saja pecah dari tawa besarnya itu.
Setelah dia menghindari biang kekacauan itu dan
kekahwatiran keduanya tidak terjadi. Dia lalu menuju meja yang diatasnya ada
beragam lauk dan pauk. Dia lagi lagi di barisan belakang. Padahal sebenarnya
dia bisa mengambil sisi sebelah meja ini yang tidak kelihatan penuh atau
mencari meja lain, tapi entah kenapa dia senang melihat taman-taman lamanya meski dia adalah objek penderita dalam
kelompok itu. Tiyo mulai mengisi piringnya secara berurutan. Nasi lalu pauk. Barusan
dia mau mengambil air mineral sebagai bagian paling terakhir dari menu ini,
sebuah sapaan yang menandakan mahaketakutan ketiga nya terwujud mengalun. “Iiihh...Tiyo!”
sekelebat Tiyo mengangkat kepalanya. Hal belasan tahun lalu itu datang lagi
menimpanya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya
menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras.
Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub
kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Dia
bertemu dengan titik mata hitam ditengah samudra putih itu lagi. Sekarang Uci’
berjilbab, menambah kharismanya. Tiyo senyum kaku. Uci’ tersenyum bebas.
Padahal sebenarnya untuk Tiyo itu adalah senyum jahat dari seorang tukang jagal
kepada leher hewan sembelihan. Dan bertambahlah penyiksaan sadis itu ketika
Uci’ berbalik kearah laki-laki berperawakan klimis disampingnya sambil
tersenyum. Dan serentak gedung besar berwarna cream itu runtuh menimpa Tiyo yang sedang terikat oleh rantai
besar. Tak berkutik.
0 komentar:
Posting Komentar