Pages

Senin, 27 Mei 2013

Tiyo Kecil, Pernikahan Madri dan Bola Mata Uci’ (re-Post)

Tiyo berbalik kebelakang dengan cepat. Terasa ada sengatan kecil merajam kulit belakangnya. Ada yang menjepit sedikit kulitnya lalu memelintirnya nyaris 90 derajat.  Lelaki 11 tahun ini berbalik sambil merapatkan kedua ujung alisnya dengan geram. Dalam kepalanya menggerutu.” Apa dia tidak tahu kalau berdiri selama kurang lebih 30 menit dalam damri reok yang sangat bergetar ini sudah cukup membuat menderita anak kecil, malah di tambah cubitan” geram dalam kepalanya.

Tapi setelah dia berbalik, keadaan juga berbalik. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras. Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Membuat lemas tempurung lututnya. Titik mata hitam yang sangat jernih ditengah mata dan kulit wajah yang seperti lautan putih berhasil membuatnya grogi. Meski dengan senyum jahat, wajah itu membuatnya senang hingga tak berkutik. Bukan takut hingga binasa.

Baru kali ini Uci’, melakukan itu. Biasanya Tiyo yang duluan menggoda. Dia berfikir mungkin Uci’ masih marah ketika beberapa minggu yang lalu dia rela memanjat ke flafon pos yang dibelakangnya ada tempat biasanya Uci’ jajan ketika istirahat. Hal itu dia lakukan untuk bisa menarik pita kecil yang mengikat rambut Uci’ dan akhirnya memaksa Uci’ masuk kepos untuk marah ketika meminta pita itu kembali. Itu sebuah keasikan melihat mata yang nyaris sipit itu dipaksa terbuka lebar oleh pemiliknya, membuatnya semakin manis.

***

Tiyo memperhatikan rambut sebahu itu bergoyang karena semua bagian tubuh wanita itu bergoyang kalau jalan. Dengan gaya jalan seperti pria, wajar kalau wanita ini memilih masuk kesekolah kejuruan untuk mayoritas laki-laki. Karena meski menggunakan rok dia masih saja seperti laki-laki. Dan sekarang laki-laki ber-rok. Tiyo lalu mempercepat langkahnya, Dullah disampingnya juga melakukan itu. Mereka berdua melewati Madri dan beberapa teman laki-laki yang berjalan bersamanya.“ Oi... Besok anak-anak mau ke malino untuk perpisahan” Madri berteriak seperti laki-laki kepada Tiyo dan Dullah yang berlalu begitu saja.
Tiyo dan Dullah duduk di bangku milik sebuah warung. Mereka tidak langsung menahan Angkot dan pergi. Seperti biasa mereka mampir dulu di warung untuk merokok dan memperhatikan cewek SMU lain melintas untuk pulang. Rusmin yang tadi dilalui kedua orang itu menghampiri Tiyo.

“Bagai mana. Besok ikut toh?” Rusmin mencoba akrab. Tiyo cuman senyum.
“Jangan begitu. Setau saya kau dan Madri waktu kelas 1 adalah teman akrab. Kenapa kau marah sampai nyaris dua tahun padanya?” Rusmin berbicara lagi.
Belum sempat Tiyo menjawab. Madri sudah nongol dari belakang dan meluncurkan perkataan dengan suaranya dengan keras.“Bagai mana Tiyo, besok ikut ya?”

Tiyo diam. Madri menatapnya seakan tidak pernah ada masalah diantara mereka. Lalu Tiyo tersenyum sebelum mengangguk, Iya! Senyum pertama dari Tiyo untuk Madri setelah nyaris dua tahun senyum itu hilang.

***

Kota ini jadi kota hujan. Seperti kota-kota di sekitaran Vietnam dan Thailand. Dingin menambah kebosanan ini. Tiyo berdiri sambil menatap jejeran motor yang dibasahi di dalam gelap ini. Sementara disampingnya Jangkung masih saja sibuk untuk menghubungi teman-teman yang lain. Mau memastikan apakah mereka jadi datang keacara ini. “Mana mungkin ada yang datang. Tidak mungkin hanya untuk wanita ber-“otot” ini, ada yang setolol ini mau menembus hujan lebat ini. Cuma kita berdua yang terkecuali untuk itu” gerutunya dalam hati. Dia menatap lagi parkiran dekat tempat mereka berdiri, berteduh, untuk menunggu teman-tamannya agar tidak berdua saja masuk kedalam ruangan pernikahan itu. Tiyo berfikir andai saja dia memutus ritualnya tuk pulang kerumah setiap pagi untuk hari ini saja mungkin dia tidak akan menemukan undangan pernikahan Madri yang diantar Jangkung ke rumahnya malam sebelumnya.

Untuk membunuh kejenuhannya, diraihnya Handphone bututnya. Seperti biasa, dia menganggap dengan meng-sms Dut selalu bisa mematikan kejenuhannya. Sembari menunggu setiap balasan sms dari Dut, dia melambungkan pikirannya pada apa yang akan dia temui beberapa waktu nanti, di dalam ruangan ”riuh” itu. Bagai mana kalau ketemu dengan teman-teman, yang menurut informasi dari Jangkung, sudah mempunyai bini dan pekerjaan mapan. Apa yang akan dia jelaskan dengan “pujian pedas” Adi terhadap dirinya yang belum bisa menyelesaikan kuliah sampai selama itu. Kekhawatiran kedua adalah bagai mana kalau ternyata didalam Madri sudah tidak mengenalnya lagi. Atau kalaupun dia masih dikenal, tapi tidak diperhatikan karena banyaknya tamu yang tentu saja lebih ber-“bobot” dari mahasiswa usang seperti dia. Dan ketakutan yang paling dia khawatirkan adalah bertemu Uci’. Dia tahu kalau Uci’ adalah teman sekampus Madri, informasi ini dia dapat beberapa tahun yang lalu. Kepucatan itu yang dia takutkan. Tiyo selalu tidak siap melihat titik mata hitam ditengah samudra putih itu.

Setelah teman-teman yang ditunggu sudah datang dan kekhawatiran pertama terwujud dengan sempurna, mereka berjalan merengsek masuk kedalam ruangan besar berwarna cream itu. Pada awal pintu mereka disambut oleh barisan anak laki-laki dan anak perempuan berbaju khas daerah ini. Jas tutup dan baju bodo. Agak kedalam setelah melewati meja yang diatasnya ada buku tamu, mereka disambut oleh ruangan terang dengan beragam ornament khas daerah dan banyak orang yang sebanyak meja penyajian makanan. Tidak jauh berjalan, Tiyo yang sedari tadi jalan minder dibelakang akhirnya melihat dua pasang anak manusia yang berdiri santai di sebuah panggung yang dihiasi lamming berwarna merah dengan kilau-kilauan berwarna emas dan perak. Tampak wajah salah satunya sangat dia kenal. Wajah itu tidak berubah banyak. Di panggung itulah dia menuju untuk menjabat selamat tangan wajah yang tidak berubah itu.

Meski dibarisan terakhir, Tiyo dapat dengan jelas melihat wajah Madri yang seakan menahan haru yang ingin dia teriakkan dengan panggilan khasnya dulu dengan “ Oii...” tapi Tiyo yakin make up tebalnya menghalau itu. Sampai giliran Tiyo, wajah Madri semakin mengharu biru. Matanya menitipkan sebuah perasaan rindu. Memang terakhir mereka bertemu itu terjadi tiga tahun yang lalu. Itupun di dalam angkot dan tanpa sengaja. Madri melayangkan mesra tangannya seakan ingin menampar halus Tiyo. Tiyo tersenyum .“ Akhirnya wanita ber-“otot” itu memilih suami” katanya dalam hati sambil melirik laki-laki tangguh di samping Madri. Lalu madri pun tersenyum, dan tampak lah kalau perubahan yang signifikan dari Madri adalah giginya sekarang yang menggunakan kawat. Konsentrasi Tiyo terputar, sebuah tawa besar tertahan penuh dalam mulutnya. Tawa besar seperti ketika mereka kelas satu dulu untuk menertawai gaya jalan Madri. Segera dia berjalan cepat untuk menghindari kekacauan yang bisa saja pecah dari tawa besarnya itu.


Setelah dia menghindari biang kekacauan itu dan kekahwatiran keduanya tidak terjadi. Dia lalu menuju meja yang diatasnya ada beragam lauk dan pauk. Dia lagi lagi di barisan belakang. Padahal sebenarnya dia bisa mengambil sisi sebelah meja ini yang tidak kelihatan penuh atau mencari meja lain, tapi entah kenapa dia senang melihat taman-taman lamanya  meski dia adalah objek penderita dalam kelompok itu. Tiyo mulai mengisi piringnya secara berurutan. Nasi lalu pauk. Barusan dia mau mengambil air mineral sebagai bagian paling terakhir dari menu ini, sebuah sapaan yang menandakan mahaketakutan ketiga  nya terwujud mengalun. “Iiihh...Tiyo!” sekelebat Tiyo mengangkat kepalanya. Hal belasan tahun lalu itu datang lagi menimpanya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasih. Serasa lubang pori-pori kulitnya menjadi sebuah mata air yang mengalirkan keringatnya dengan sangat deras. Tiba-tiba darah diwajahnya hilang, hijrah entah kemana. Jantungnya berdegub kencang memompa berliter-liter darah lebih cepat keseluruh tubuhnya. Dia bertemu dengan titik mata hitam ditengah samudra putih itu lagi. Sekarang Uci’ berjilbab, menambah kharismanya. Tiyo senyum kaku. Uci’ tersenyum bebas. Padahal sebenarnya untuk Tiyo itu adalah senyum jahat dari seorang tukang jagal kepada leher hewan sembelihan. Dan bertambahlah penyiksaan sadis itu ketika Uci’ berbalik kearah laki-laki berperawakan klimis disampingnya sambil tersenyum. Dan serentak gedung besar berwarna cream itu runtuh menimpa Tiyo yang sedang terikat oleh rantai besar. Tak berkutik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 anne nakke. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.