Pages

Senin, 15 April 2013

Cerita sebuah gelang (re-Post)

Aku menemukan sebuah gelang. Kutemukan berbaring tenang diatas bangku batu kota yang berada dipersimpangan ini. Warnanya putih, terbuat dari besi putih kupikir. Tidak seperti gelang yang dipakai oleh preman, bentuknya agak kecil. Agak pipih. Tidak kelihatan garang, tapi lebih terang. Ada beberapa debu  melengket, tapi tipis. Mungkin baru saja dijatuhkan disini.
Kasian gelang ini. Dari yang kusentuh, dia agak kedinginan. Dingin malam yang dipancarkan oleh tembok batu dia serap sedalam-dalammnya. Siapa gerangan empu gelang ini? Siapa pemiliknya? Tak mungkin dia sengaja menyia-nyiakan gelang tenang ini. Karena meski kelihatan biasa, dia sangat tenang sehingga bermakna. Pasti pemiliknya sedang kebingungan sekarang. Mencari-cari tambatan hatinya. Danau tenang tempat sampannya berputar-putar mencerna makna kehidupan yang diceritakan matahari dan bulan lewat pantulan cahaya.
Mungkin ini dagangan seorang pedagang kaki lima. Yang menjual beragam asesoris murahan. Asesoris yang dikerjakan disudut-sudut kota. Yang dibuat semirip-miripnya dengan yang dijual di dalam toko asesoris ber-brand negeri barat. Dengan jualan yang  didominasi merek produk-produk olahraga ekstrim. Ini yang dibuat semirip-miripnya. Dengan bahan yang lebih murah tapi belum tentu kekuatannya. Tidak penting sebenarnya permasalahan kekuatan. Toh konsumen dari dagangan pedagang kaki lima adalah orang-orang yang sangat dinamis dengan trend dan mode. Ketika muncul gaya baru dari band terkenal atau asesoris baru yang digunakan oleh pelakon dalam sebuah sinetron kondang, maka para konsumen dari pedagang kaki lima akan merubah arus sesuai dengan mode dari artis pujaannya itu. Dan itu pun harus direspon oleh para produsen barang “ciplakan” sebagai suplayer barang murah.
Pagi-pagi tadi pasti bapak pedagang itu sudah membuka lapaknya. Dia membentangkan selembar karpet pelastik berwarna kusam. Lalu menghamburkan barang dangangannya. Mengaturnya berkelompok. Mulai dari rantai , cincin, ikat rambut sampai pin-pin pun dia sediakan dan dengan harga murah. Setelah itu diapun menyuguhkan senyum pada orang yang berlalu lalang. Dengan teknik marketing yang didapat dengan autodidak, dia menggaet pelanggannya. Tapi saat mentari mulai berdiri  90 derajat dari kulit bumi, sekonyong-konyong saudara-saudara seprofesinya berlari sambil mengangkat barang dagangannya dengan sembarang. PENERTIPAN! Teriak mereka. Lalu dari arah yang sama muncul orang-orang berseragam biru agak tua, memegang pentungan dan menghambur apa saja yang dia anggap mengganggu keindahan kota. Sang pedagang pun melakukan hal yang sama dengan teman-tamannya. Menggulung dengan sembarang karpetnya dan memeluknya lalu kabur. Tak dipedulikanlah beberapa barang yang terjatuh, asal tidak banyak dan bukan tertangkap, karena bakal sulit mengurus untuk keluarnya.
Bisa jadi harga gelang ini tidak seberapa, tapi kalau ada beberapa yang terjatuh, itu akan menjadi suatu yang berharga. Kucoba melongok kesana-sini, siapa tau masih ada yang tercecer. Tapi tidak ada.
Lalu indra penciumanku mengendus sesuatu yang menusuk. Bau yang aneh, tidak bau tapi juga mengganggu. Parfum murahan. Kubalik sana sini tapi tidak ada orang yang melintas. Hanya tadi ada mobil mewah yang berlalu dari arah lorong itu. Lorong yang ujungnya terkenal dengan segala hal yang berbau “syahwat”. Selangkangan.
Hayalku merebak jauh kelorong itu. Jangan-jangan ini milik seorang wanita dari lorong itu. Dari bentuknya gelang ini memang lebih cocok dipakai oleh seorang wanita dan dari gayanya, tentu saja, wanita dari kelas bawah. Dia wanita “pelacur” yang agak senior, atau tepatnya usang. Setengah baya. Kerutan sudah tampak disekitar kulit wajahnya, meski dia alasi dengan bedak yang setebal-tebalnya. Daging dadanya pun begitu, sudah kempis oleh usia. Daging tangan juga keriput di jari-jarinya meneriakkan keusangan. Setengah nyawa dia berusaha untuk menutupi ketuaannya itu. Dari sore dia menghambur beragam alat kosmetik di wajahnya. Dipilih pakaian yang nyaris mencekik seluruh kulit tuanya, agar kelihatan kencang. Tapi tetap saja, dia sudah tua. Hingga dia harus punya strategi ekstra sampai harus banting harga untuk memastikan ada hasil malam ini. Tidak lagi dia harus pilih-pilih pelanggan atau kalah saingnya bertambah parah.
Dia berlari-lari kesini. Kearah bangku ini. Kearah dua orang yang sedang bercumbu disini. Seorang pria berkumis berwajah bangsat dan seorang wanita muda berpakaian seronok. Dia berlari kecil kearah mereka. Sesampainya disini, tanpa membiarkan lelahnya hilang, dia langsung menjambak rambut wanita muda tadi. Sang pria diam, kaget. Wanita muda tadi berteriak kesakitan. WANITA ANJING! MASIH BAU KENCUR SUDAH BERANI! Teriaknya. Wanita muda tadi hanya berteriak kesakitan. Rupanya pria berwajah mesum tadi adalah pelanggan sehari-hari wanita paruh baya ini. Tapi tadi wanita muda itu mencegat si “mas” disini, sebelum masuk kelorong itu. Wanita paru baya geram mendengar berita ini dan kalap. Tak ada lagi kesadaran yang menemaninya dia hanya mengahantam. Wanita muda kehabisan kesabaran, akhirnya membalas mencakar dan menarik-narik. Pertarunganpun semakin sengit ditonton orang-orang. Tapi bagai manapun semangat wanita paru baya itu, dia tetaplah lemah di banding wanita muda itu. Sebuah tinju kecil melayang kewajah wanita paru baya. Pandangannya gelap, dia pun terjatuh kearah jalan. Pria hidung belang tadi dengan segala rasa bersalahnya mencoba menangkap tangannya tapi tak kuat sehingga gelang wanita paru baya lah yang terlepas dan kepalannya terantuk aspal jalanan. Dia pingsan. Begitulah akhir pertarungan dua “kucing” jalanan. Dan wanita paru baya yang harus kalah oleh waktu.
Kasian wanita paru baya itu. Alih-alih pelanggannya berhasil dia rebut, malah luka yang dia terima. Aku menatap lorong itu. Ingin aku merengsek masuk dan mencari berita wanita paru baya itu dan menyerahkan gelangnya. Tapi keberanian itu kecil, aku belum siap dengan predikat yang disandang lorong itu.
Lalu kembali aku menatap gelap sekitar tempat ini. Sangat sepi. Kubiarkan imajinasiku melayang liar untuk meraba empu gelang ini. Aku mulai menghayal untuk pemilik gelang ini. Mulai dari seorang siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang memiliki sisa uang jajan karena ada rapat guru sehingga sekolah pulang cepat. Akhirnya dia bisa membeli asesoris seperti milik teman-temannya di pasar kampung dekat sini. Senangnya minta ampun, sampai-sampai dia membuat salah satu belanjaannya tercecer disini. Atau seorang preman pasar yang baru saja menjambret tas seorang ibu-ibu gendut yang lengah ketika belanja. Isi tasnya tidak cukup berharga, hanya beberapa ratus ribu rupiah, beberapa alat kosmetik murahan dan gelang ini. Tapi yang paling tidak berharga adalah gelang ini, dia sudah punya banyak ditangannya bahkan lebih besar, makanya dia campakkan saja di bangku ini. Kosmetik dan tasnya bisalah dia persembahkan untuk wanita “jalang”nya. Apa lagi lembaran ratusan rupiah itu, bisa buat makan dan selebinhya buat mabuk.
Hayalku sampai pada sebuah wajah seorang wanita muda berparas sopan. Dia berkerudung kecil megikuti bentuk kepalanya yang bulat oleh pipinya yang gempal. Dia juga kecil, 140 – 150an centimeter kupikir. Bertubuh agak gendut (tidak terlalu gendut) tapi memiliki senyum manis yang mengangkat sebuah tahi lalat kecil tepat ditengah pipi kanannya lebih mendekat kematanya yang agak sipit.Dia bukan dari kelas yang terlalu bawah. Dia duduk persis ditempatku duduk sekarang. Tampak wajah gelisah diwajahnya. Dia menanti seseorang. Seorang kekasih tampaknya. Seorang kekasih yang beberapa hari lalu, ketika dia mengabarkan akan pergi untuk waktu yang tidak sebentar, marah karena tidak menginginkan perpisahan. Memang tampak dia akan pergi jauh, entah kemana. Sebuah tas ransel sedang dan berwarna hitam usang  duduk tepat di samping kirinya. Kemarin malam sebuah short message service dikirimkan oleh kekasihnya setelah beberapa hari diam. Permintaan untuk bertemu disini sebelum  dia pergi.
Wajahnya makin gelisah. Apakah dia tidak jadi mau datang. Dia melihat jam di tangan kirinya, sudah hampir. Lalu dia memutar-mutar gelang putih di tangan kanannya, berputar mengelilingi pergelangan tangannya. Semakin tidak terarah, dia gelisah. Sampai waktu seharusnya dia pergi, kekasih tak kunjung datang. Setetes air mata mengalir. Dia lepaskan gelangnya dan membaringkannya dibangku ini sebelum meraih tasnya dan pergi.
Tiba-tiba hayal ku berhenti oleh sebuah langkah sendal jepit. Berhenti tepat disampingku. Aku lalu memanatapi orang ini dari sendal sampai kepalanya. Dia menggunakan kaos oblong berlogokan sebuah kampus negeri di kota ini. Dia meggandeng tas ransel. Tampak matanya tidak lepas dariku, tapi nanar, tapi marah (paradoks). Aku jadi risih dengan mata itu. Seperti dia berharap sesuatu miliknya yang kurebut. Tak berapa helaan napas yang dia tarik sangat dalam, dia lalu menghempaskan badannya dan terduduk disampingku. Dia duduk sambil menunduk dan membungkuk. Wajah pucatnya lalu dia sandarkan pada telapak tangannya yang sikutnya bertumpu pada pahanya. “ Dia tidak datang!” gerutunya kecil dibalik kedua telapak tangannya. Aku lalu melihat dengan bingung pada pria ini. Sampai kuperhatikan sebuah gelang ditangan kirinya. Aku lalu menyodorkan tanganku yang menggenggam gelang hilang tadi kearah wajahnya. “ Atau mungkin kamu yang terlambat!” kataku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 anne nakke. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.