Pages

Jumat, 13 Mei 2011

Tunggu sebentar, Dia sedang tersenyum

Aku duduk disamping kirinya, tepat disamping kirinya. Hampir bersentuhan, aku sangat ingin bahu kami bersentuhan, tapi tidak. Masih ada jarak diantara kami.

Dari sini aku bisa menatap wajahnya lebih dekat dari biasanya. Tidak pernah lagi aku bisa menatapnya sedekat dan selama ini. Baru kali ini dan tanpa dia membuang muka atau menunduk. Kali ini dia bereaksi biasa saja kala kutatap. Hampir seperti dulu, seperti ketika kami masih bersama, aku bisa menatapinya melakukan aktifitas dan dia tidak terganggu malah bersemangat. Senang ketika aku mengingat masa-masa itu. Aku rindu.

Tampak jelas wajahnya. Aku bisa menatap garis alisnya yang alami. Aku bisa menatap matanya yang bulat dengan kantung yang kadang berubah berwarna pink ketika dia sedang sedih. Aku bisa menatap titik hitam di pipi kirinya yang selalu indah di tengah pipinya yang putih. Aku bisa menatap hidungnya yang kadang kelihatan besar kadang kecil, hihihiihi selalu lucu (aku tersenyum kecil). Aku bisa melihat bibirnya yang tebal dibagian bawah, berbentuk indah apalagi ketika dia tarik ketika tersenyum, sayang titik hitam di tengah bibir bagian bawahnya itu tidak terlihat dari sini, padahal itu juga kurindukan. Wajah itu memang sangat indah, dan selalu membuatku terdiam ketika menatapinya sendirian.

Aku tidak peduli pada semuanya. Pada keramaian tempat ini. Pada riuhnya suara dan asap rokok yang bercampur. Pada orang yang lalu lalang. Pada pandangannya yang tidak pernah mengarah kepada ku disamping kirinya. Dia terus menatap dua anak, yang sangat kukenal, diatas panggung itu. Seorang anak membaca puisi rayuan pada kematian dan yang lainnya sedang memetik gitar kelasiknya. Mereka tampil dengan background slide foto lama ku yang terus bergantian. Kedua anak itu melakukan untukku, mereka murid yang kehilangan.

Ada sesuatu yang dia tahan ketika menyaksikan performa dua anak itu. Garis wajahnya sesekali menegang ketika namaku disebut oleh murid ku diatas. Matanya seakan sembab ketika perjalanan ku di tanah ini diceritakan dalam puisi itu. Tapi takkala dia berbalik kekanan, ketika dia meatap wajah laki-laki disampingnya, ketika kulihat tangannya digenggam erat, dia melebarkan senyum. Senyum yang dia buat untuk memberi tahu laki-laki itu kalau puisi untuk ku itu tidak berpengaruh apa-apa. Agak sedih tapi aku senang karena dia tersenyum.

Aku masih duduk disampingnya dan masih menatapinya tanpa dia sadari. Tiba-tiba ada yang menepuk bahu kiri ku. Aku berbalik. Sebuah cahaya terang menyilaukan. Aku tidak bisa menatapnya sampai kedalam. “ Sudah waktunya pergi” suara menggema dari dalam cahaya itu. Aku melemah dalam kalimat. “Tunggu sebentar, dia sedang tersenyum” 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 anne nakke. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.